Saya sering mendapat pertanyaan dari para sabahat; Tuhan itu ada atau tidak ada? Ini barangkali gara-gara para sahabat saya itu mengetahui bahwa yang ada di depannya adalah lulusan dari Fakultas Filsafat sehingga mereka –entah sekedar iseng atau sungguh-sungguh —ingin mengerti jawabannya dari mulut saya.
Ibarat dokter yang mendapatkan keluhan akan suatu penyakit, saya biasanya merasa bertanggungjawab untuk melontarkan jawaban. Bila dokter siap dengan obat, maka saya siap dengan jawaban. Mungkin ini adalah kesetaraan profesi: dokter dan lulusan filsafat. Hehehe…. Bedanya padahal jelas.
Saran, anjuran dan obat dari dokter ada imbalan uangnya, tapi lulusan filsafat tidak. Boro-boro mengucapkan rasa terima kasih, biasanya malah sebaliknya; membantah, mencibir dan mendebat. Terserah saja… yang penting, saya dan para teman yang rajin diskusi ini akhirnya semakin cerdas dan terampil untuk menggunakan argumentasi untuk menyusun sebuah pandangan dunia.
Terus terang, saya kangen bila dalam sehari tidak dipertanyakan Tuhan itu ada atau tidak. Sejak dulu saat saya masih duduk di bangku SMA kelas 1, atau kuliah di semester-semester awal hingga lulus, atau saat saya sudah memasuki dunia kerja, pertanyaan ini selalu menjadi pertanyaan yang menemani. Dan ini hebatnya, berbeda dengan pertanyaan lain yang jawabannya eksak dan pasti — misalnya berapa tambah berapa sama dengan berapa – jawaban atas pertanyaan Tuhan itu ada atu tidak itu tidak pernah sama terlontar dari mulut saya.
Pasti ada perkembangan, ada penyusutan, ada variasi jawaban. Terkadang semakin berkualitas, namun terkadang semakin dangkal dan tidak bermutu. Bagi saya pribadi, hal ini tidak jadi soal karena saya percaya bahwa otak, pikiran, keyakinan, ide, intuisi kita akan semakin berkembang dan semakin tajam bila diasah terus menerus. Pada satu saat, jawaban itu bisa mandeg dan kasar, namun pada saat yang lain bisa berbinar dan akhirnya menemukan sisik melik tentang hakikat ketuhanan. Semoga!
Bila kebetulan pertanyaan itu berlanjut ke sebuah diskusi yang serius dan situasinya mendukung misalnya bertemu dengan habitat para pemikir handal, saya biasanya menyesuaikan diri. Pertanyaan “Tuhan itu Ada atau Tidak?” di kepala para pemikir handal berkecamuk lebih keras dan lebih kritis daripada kepala saya yang bloon dan tolol. Namun untunglah, biasanya saya tidak kehabisan jurus silat untuk menandingi para pemikir era postmodern yang berkecepatan memori 4 Giga, dan prosesor Intel Dual Core.
Baiklah pada kesempatan kali ini, saya ingin berbagi sekaligus mengajak jagongan dengan para blogger yang budiman untuk membahas bersama-sama jawaban atas pertanyaan “Tuhan itu Ada atau Tidak?…” Agar tidak menjadi diskusi yang tanpa ujung pangkal, hanya ngalor-ngidul dan tidak menghasilkan pengetahuan baru, marilah kita membuat kesepakatan-kesepakatan istilah terlebih dulu.
Marilah kita sepakati dulu istilah YANG ADA. Menurut buku-buku Filsafat yang sudah lusuh dan usang, Istilah YANG ADA, merupakan istilah yang paling umum serta yang paling sederhana di antara semua predikat. Karena YANG ADA maka dapat dikatakan sesuatu mengenai barang-barang yang nyata. Ilustrasinya sbb: kata BARANG dapat diterpkan pada buku, meja, kursi, manusia, KUCING. Nah, ada kata yang lebih umum bahkan paling umum yaitu YANG ADA. Apapun yang dapat kita jumpai dan kita pikirkan, kita bisa menyebutnya YANG ADA. Mudah bukan???
Dalam bahasa Inggris, YANG ADA disebut BEING, bahasa Perancisnya ETRE, bahasa Jermannya SEIN, bahasa latinnya ETRE. Ada kecenderungan masyarakat awam memandang YANG ADA sebagai hal yang pasif yang menyamakannya dengan TERLETAK, TERBENTANG. Padahal, pada hakikatnya, Tuhan Semesta Alam ini sudah menggariskan bahwa YANG ADA ITU AKTIF. Tinggi rendahnya aktivitas tersebut tergantung pada tinggi rendahnya tingkat keberadaan: benda-benda seperti batu, berbeda dengan tumbuhan, hewan, sampai manusia. Untuk menamai sifat aktif YANG ADA ini, biasanya dipakai istilah PENGADA yang artinya YANG ADA yang sedang mengada.
Almarhum dosen saya, Doktor Anton Bakker, semakin mengkongkretisasikan kata YANG ADA dengan arti yang lebih personal, konkret yang menunjuk pada substansi yang hidup dan unik. Dia menyebutnya dengan PENGADA. Nah, untuk mengenali PENGADA ini, caranya adalah mengenali AKU karena AKU-lah sarana untuk menggali dan mengungkapkan hakikat PENGADA tersebut.
Dengan penemuan ini, berarti manusia sudah mampu untuk membuat definisi yang bagus tentang YANG ADA. Bahwa YANG ADA itu terus mengalami pembaharuan meskipun ada sisi-sisi permanensinya. YANG ADA bersifat unik individual, YANG ADA itu satu yang melebur dalam SEMUA. Dan seterusnya….
Untuk lebih mengenal YANG ADA dan semakin memahami bahasa metafisika umum, ada baiknya juga memiliki kejelasan tentang klasifikasi YANG ADA. Sebab di sinilah kita mampu mendudukkan sesuatu hal sesuai dengan klasifikasinya. Pengetahuan ini juga bermanfaat untuk menjawab pertanyaan; TUHAN ITU ADA ATAU TIDAK?
Almarhum Profesor Notonagoro secara gamblang menjelaskan TINGKAT-TINGKAT KEBERADAAN. Dia membagi YANG ADA dalam dua kategori yaitu YANG NYATA ADA dan YANG ADA DALAM KHAYALAN. YANG NYATA ADA dibagi lagi menjadi ADA YANG MUNGKIN dan ADA YANG AKTUAL. Sedangkan YANG ADA DALAM KHAYALAN bisa dipilah menjadi YANG ADA DALAM KHAYALAN yang berupa KEMUNGKINAN dan YANG ADA DALAM KHAYALAN yang bersifat AKALI.
ADA YANG AKTUAL mempunyai esensi abstrak atau hakikat yang mengacu pada eksistensi sesuatu tanpa spesifikasi bentuk sebagai yang independen atau tidak. Esensi individual atau universal itu bukan hal yang kongkret dan bereksistensi melainkan prinsip yang dengannya segala sesuatu itu bereksistensi sebagai sesuatu jenis tertentu. Sementara ESENSI KONGKRET ini bersifat INDIVIDUAL dengan semua determinasi riil yang ada padanya.
Lain lagi yang diungkapkan oleh dosen Ontologi/Metafisika Umum lain, yaitu Doktor Dibyasuharda. Biar nggak ribet dan rumit untuk memahami YANG ADA, dia lebih cenderung menyukai kategori YANG ADA dengan membaginya hanya menjadi tiga; ADA OBYEK, ADA SUBYEK dan ADA AN SICH. ADA OBYEK dapat dikenali manusia karena ia berada di luar subyek atau AKU. Kedua, ada SUBYEK yang dikenali manusia di dalam dirinya sendiri atau AKU yang berhadapan dengan DIRIKU. Ketiga ADA AN SICH yang dikenal subyek, namun tidak dihinggapi dan terlepas dari KEOBYEKANNYA. ADA AN SICH tidak terbuka bagi subyek, karena pada pangkal usaha untuk mengenalinya maka subyek telah menjadikannya ADA OBYEK.
Nah, uraian ini bisa dipakai sebagai bingkai, cara pandang, pola pikir atau paradigma untuk menjawab pertanyaan TUHAN itu ada atau tidak? Jawabannya jelas bahwa TUHAN ITU ADA. Ada di mana? karena TUHAN ITU ADA AN-SICH maka kita tidak bisa menjawab karena pada pangkal untuk menjawabnya kita akan terjebak pada mengobyekkan Tuhan. Namun bila sang penanya sangat penasaran dan daripada nanti kita dianggap pelit untuk menjawab, maka ada baiknya kita menjawab dengan cara pandang Profesor Notonagoro.
Demikian semoga ada manfaatnya meski kecil. Salam damai di wajah, tubuh dan gerakan serta damai pula di hati, mohon maaf bila salah.