Bagi Wong Jowo, bulan ini agaknya bulan yang baik untuk menyelenggarakan hajatan. Undangan pernikahan banyak mampir ke rumah. Jalan-jalan di desa kadang harus ditutup bila ada satu rumah yang duwe gawe.
Tidak hanya sebuah ritual budaya dan agama, pernikahan juga memiliki arti politik dan ekonomi. Bahkan juga memiliki makna simbolik berupa pertemuan dua jiwa yang dimabuk rasa cinta dan kasih, untuk menjadi satu, melebur dan mencair dalam satu ikatan untuk mencapai kesempurnaan.
Dalam khasanah Jawa, mitologi yang terkenal tentang perkawinan adalah perkawinan antara Panembahan Senopati, Raja Mataram pertama dengan Kanjeng Ratu Kidul. Ada beragam penafsiran tentang makna perkawinan dua makhluk berlainan spesies ini. Panembahan Senopati berspesies manusia dan Kanjeng Ratu Kidul berspesies lelembut.
Ada yang menafsirkan bahwa perkawinan itu hanya upaya legitimasi politik Panembahan Senopati agar semakin ditakuti dan disegani lawan-lawan politiknya, sehingga dia merekayasa cerita tidak masuk akal.
Ada pula yang menafsirkan secara filosofis, bahwa perkawinan Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul itu sesungguhnya sebuah upaya Gusti agar manunggal dengan Kawulo dengan cara ngayomi lahir dan batin para kawulo sehingga Raja menjadi RATU ADIL.
Ada pula yang menafsirkan bahwa perkawinan itu benar-benar terjadi sebagaimana pernikahan Pangeran Charles dengan Lady Diana, atau Anda dengan Pasangan hidup Anda. Bila ini benar-benar terjadi, pastilah ini kejadian luar biasa yang hanya dilakukan oleh manusia yang sakti mandraguna.
Terserah Anda, mau percaya pada penafsiran yang mana. Ada baiknya akan kita runut asal muasal perkawinan Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul yang fenomenal tersebut.
Siapa Panembahan Senopati?
Danang Sutawijaya nama kecilnya. Ayahnya bernama Ki Ageng Pemanahan yang berjasa besar membantu Jaka Tingkir membunuh Aryo Penangsang, adipati Jipangpanolan dalam krisis politik di Kesultanan Demak Bintoro pada masa akhir pemerintahan Sultan Trenggana.
Setelah Jaka Tingkir menjadi Raja bergelar Sultan Hadiwijaya yang akhirnya mendirikan Kesultanan Pajang, Sutawijaya kemudian dianugerahi tanah Mentaok –Kotagede, Jogja sekarang.
Bersama-sama ayahnya ia babat alas kawasan yang kini terkenal dengan kerajinan perak tersebut. Karena keraton Sutawijaya berada di sebelah utara pasar maka dia bergelar Ngabehi Loring Pasar. Setelah Ki Gede Pemanahan meninggal tahun 1575 M, Sutawijaya memberontak ke Pajang saat di Pajang terjadi konflik elite tahun 1582 M dan membuat Mataram merdeka dari Pajang.
Konflik elite yang terjadi yaitu anak Sultan Hadiwijaya, Pangeran Benowo yang merupakan pewaris Pajang di kudeta oleh Aryo Pangiri adipati Demak. Merasa terdesak Pangeran Benowo meminta bantuan Sutawijaya di Mataram. Setelah berhasil mengalahkan Aryo Pangiri, Pangeran Benowo menyerahkan pusaka Pajang pada Sutawijaya. Setelah Pajang runtuh ia menjadi Raja Mataram Islam pertama dan bergelar Panembahan Senopati Khalifatullah Sayyidin Penatagama.
Panembahan Senopati dikisahkan dalam babad Tanah Jawa memiliki kebiasaan yang hebat dalam olah rasa, meditasi dan gentur bertapa. Salah satu ritual wajib yang dilakukannya untuk melatih kesabaran adalah membuang cincinnya sendiri ke sungai dan kemudian mencarinya hingga ketemu. Tindakan unik dan nyeleneh diluar kebiasaan ini membuahkan hasil berupa diperolehnya kawicaksanan tertinggi, ilmu-ilmu ketuhanan yang mumpuni serta kesaktian yang pilih tanding.
Saben mendra saking wisma
Lelana laladan sepi
Ngisep sepuhing sopana
Mrih para pranaweng kapti
Setiap kali keluar rumah
Wisata ke wilayah sunyi sepi
Menghidup napas kerokhanian
Agar arif kebulatan awal akhir,
Dialah tokoh yang berhasil membuat anyaman mistik dan politik, yang keteladanannya memandu alam pikiran Kejawen untuk menggapai pemahaman tertinggi Ketuhanan yaitu MANGGALIH, artinya mengenai soal-soal esensial, pasca MANAH (dipersonifikasikan Ki Ageng Pemanahan) artinya membidikkan anak panah, mengenai soal-soal problematis di jantung kehidupan, pusat lingkaran.
Panembahan Senopati yang cerdas memahami psiko sosial masyarakatnya. Ia pun menganyam serat-serat kehidupan yang dianyam dengan amat simbolik mistik berupa kisah Asmara dengan Penguasa Laut, dengan Empu Laut Kanjeng Ratu Kidul sehingga Panembahan Senopati memperoleh dataran baru, daratan ke-Mataram-an.
Dikisahkan, Panembahan Senopati saat babad alas Mentaok menghadapi Raja Jin bernama Jalumampang. Merasa kesulitan mengalahkannya, Panembahan Senopati kemudian bertapa di laut selatan. Dalam bertapa, dia di datangi oleh Kanjeng Ratu Kidul yang terpikat oleh ketampanannya. Kanjeng Ratu Kidul berjanji akan membantu melawan Jalumampang asal Panembahan Senopati dan keturunannya mau menjadi suami dari Kanjeng Ratu Kidul.
Perkawinan Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul pada dasarnya adalah perkawinan yang strategis. Panembahan Senopati memperoleh kedaulatan atas wilayah Mataram yang wilayahnya berdampingan dengan Laut Selatan yang tak terbatas. Dengan perkawinan tersebut, Panembahan Senopati mampu untuk menguasai juga para lelembut yang tak terbilang banyaknya sebab Kanjeng Ratu Kidul adalah raja para lelembut tersebut.
Panembahan Senopati oleh sebab itu mampu membangun sebuah kekuatan psikologis untuk memperkokoh legitimasi pemerintahannya. Selama pemerintahan Panembahan Senopati, Kerajaan Mataram tercatat harus berperang menundukkan bupati-bupati daerah di antaranya Kasultanan Demak, Ponorogo, Pasuruan, Kediri, Surabaya. Cirebon pun berada di bawah pengaruhnya.
Perkawinan Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul, oleh sebab itu diyakini terus dipertahankan oleh para Raja Mataram mulai Sri Sultan Hamengko Buwono I hingga Sri Sultan Hamengku Buwono X saat ini.