LA TANZHUR ILA MAN QAALA WAN ZHUR ILAA MA QAALA
Jangan pandang siapa yang berkata, tapi pandanglah apa kata-katanya
Kalimat ini diucapkan oleh Sayidina Ali, salah satu sahabat dekat Rasulullah SAW untuk mengingatkan agar kita hendaknya tidak cenderung melihat SIAPA YANG BERBICARA. Namun lihatlah SUBSTANSI ATAU ISI yang DIBICARAKANNYA. Di Jaman sekarang ini, semakin menjadi-jadi orang dilihat dan dinilai dari kulit luarnya. Orang menghargai orang karena kekayaannya, jabatannya, pangkatnya, statusnya, kendaraannya, rumahnya, kerjanya dimana, usianya berapa, isterinya siapa, suaminya siapa, anaknya siapa dan seterusnya.
Padahal, kalau kita mau meluangkan waktu sejenak untuk menggali kejernihan perenungan… semua predikat itu hanyalah baju-baju duniawi yang hanya sesaat disandang oleh seseorang. Predikat itu kemudian dijadikan parameter untuk menilai dan melegitimasi kebenaran sehingga aspek isi dinomorduakan.
Bila yang mengatakannya menteri, bila yang menyampaikannya presiden, bila yang berpidato itu ulama atau ustadz yang terkenal, bila yang tampil itu spiritualis kondang maka kita akan dengan mudah PERCAYA terhadap informasi yang disampaikannya. Namun, bila yang mengatakannya itu Mas Bejo, yang menyampaikan Mas Tarno, yang koar-koar itu Anda atau saya maka dianggap angin lalu dan disebut mengada-ada dan TIDAK DIPERCAYA.
Inilah gejala penyakit di masyarakat yaitu LEBIH SUKA KULIT DARI PADA ISI. Kita semua harus mengakui kena penyakit ini. Sebuah penyakit kronis yang sumber asalnya adalah KEDANGKALAN SPIRITUAL KARENA KITA MASIH BELUM MELAKONI TAHAPAN-TAHAPAN PERJALANAN SPIRITUAL LANJUTAN.
Dalam konteks beribadah kita masih sibuk dengan menata syariat, tata cara, hukum, rambu-rambu saja. Kita masih belum menyentuh wilayah tariqat yang lebih dalam lagi, apalagi menuju hakikat yaitu wilayah akal budi yang akan tercerahkan karena mendapatkan kebijaksanaan. Hingga mampu untuk bermakrifat, yaitu mengenal rahasia-rahasia ketuhanan. Rambu-rambu (baca syariat) tetaplah hal yang penting dan harus dijalani karena kalau tidak dijalani, kita bisa kena tilang oleh polisi yang mengawasi jalannya hidup ini yaitu malaikat.
Namun jangan lupakan, bahwa kendaraan kita juga harus tetap melaju di jalan (tariqat) sebaik-baiknya dengan bekal dan persiapan mental yang matang agar kita sampai pada tujuan hidup yaitu mencari kebenaran dan mencintai kebijaksanaan (PHILO–SOPHIA), dan kemudian bisa mengenal bahkan bertemu langsung dengan SANG PEMILIK KENDARAAN yaitu TUHAN YANG MAHA PENCIPTA.
Dunia pendidikan sekarang juga setali tiga uang, yaitu dihinggapi penyakit LEBIH SUKA KULIT DARI PADA ISI. Lebih mementingkan output yang berorientasi jangka pendek, praktis, laku di dunia kerja daripada menghasilkan SDM memahami proses dan metode untuk kemudian menemukan sendiri langkah dan cara yang lebih bijaksana, manusiawi dan menyejahterakan peradaban lahir dan batin.
Syariat dan hakikat itu seperti lahir dan batin, seperti pohon kayu dan kulit kayu. Kayu yang hanya tinggal intinya dan tidak berkulit maka tidak akan lama usianya. Dan kayu yang remuk, dan hanya tinggal kulitnya saja tidak kuat menghadapi angin yang kencang. Pohon itu akan roboh dalam waktu yang singkat. Kita jelas mencela orang-orang yang hanya membaca apa yang tersurat saja. Namun kita juga tidak bisa hanya mengandalkan pengetahuan dan kesadaran yang hakikat semata karena akan menjadikan kita gerombolan orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Keduanya akan sama-sama rugi bila tidak saling melengkapi. Jadilah kayu SYAJAROTIN THAYYIBATIN, kayu yang indah murni, berdahan, bercabang, beranting dan berdaun subur.
Itulah ILMU SEJATI yang bisa dijelaskan sebagai “Filsafat sebagai penjelasan hidup, kesusasteraan sebagai nyanyian hidup, kesenian sebagai perhiasan hidup dan tasawuf sebagai intisari hidup dan ibadah sebagai pegangan hidup. Semuanya untuk hidup, karena hidup yang tinggi dan panjang adalah hidup yang bernilai. Bahkan maut sendiri adalah tonggak awal dari hidup yang lebih bernilai.”
Salah satu hakikat yang perlu dipahami oleh masyarakat yang sudah dewasa pola pikirnya sekarang ini adalah hakikat agama. Ini cukup penting untuk disampaikan karena semakin hari terjadi gejala penyempitan nalar publik yang berujung pada radikalisasi gerakan-gerakan umat beragama secara diam-diam. Hakikat agama adalah semuanya menuju Allah SWT. Seorang yang arif bijaksana akan memandang bahwa yang siapa sejatinya yang disembah berbeda dengan simbol penyembahan. Menyembah berhala atau menyembah Ka’bah itu hakikatnya sama kalau itu yang disembah. Semua obyek itu hanya simbol dan lambang, baik api, patung, batu, arca, atau Ka’bah. Kita tidak menyembah simbol namun apa yang ada di balik simbol tersebut, yaitu menghadirkan “Allah SWT” sebagai satu-satunya Pencipta segala yang ada. Beribadah yang sah adalah bila dipandang bahwa segala bentuk, segala rupa, segala yang tampak ini sebagai kenyataan dari HAKIKAT YANG ESA. Inilah METAFISIKA KESATUAN!
Terakhir, ada sebuah syair indah dari Ibnu Arabi terkait keharusan moril untuk menghargai, bertoleransi dan mensyukuri perbedaan keyakinan:
La qad qabla yaumi unkiru sahibi
Iza lam yakun dini ledinihi daani
Fa qad shara qalbi qabilan kulla shuratin
Famar’aa li ghazianin wa dairun li ruhbani
Wa baitun li autsanin wa Ka’batu thaifin
Wa alwahu tauratin wa mash-hafu Qur’ani
Addinu bi dinil hubbi anna tawajjahat
Rakaibuhu fal hubbu dini wa imani
Dahulu saya tak suka pada temanku
Kalau agamaku tidak sama dengan agamanya
Sekarang hatiku telah menerima segala bentuk
Padang penggembalaan kijang, biara tempat rahib bertekun
Rumah berhala, Ka’bah tempat orang thawaf
Luh tempat Taurat tertulis, Mashaf tempat Qur’an terlukis
Aku memeluk CINTA, kemana pun aku menghadapkan tujuanku..
CINTA ADALAH AGAMAKU DAN IMANKU