Suatu ketika di pinggir kota Basrah Irak, tersiar kabar ada orang yang meninggal dunia. Dia orang tidak terkenal, tidak berpangkat, kekayaannya tidak seberapa dan secara umum semuanya tampak biasa saja. Yang tidak biasa barangkali karena dia suka mabuk-mabukan. Kebiasaan buruknya ini konon membuat orang-orang kampung begitu membenci perilakunya yang diharamkan agama ini.
Tersiarnya kabar tewasnya sang pemabuk ini disambut dengan suka cita banyak orang. Yang sedih mungkin cuma isteri, anak-anak dan mungkin anjing kesayangannya. Para tetangga dan masyarakat sekitar tempat tinggal bahkan enggan mengurus si mayat karena diyakini dosanya terlalu banyak semasa hidup.
Sambil berlinang air mata, si isteri mengurus jenazah suaminya seorang diri diaksikan anak-anak. Sayang tubuh si isteri ini tidak kuat mengangkat jenazah seorang diri sehingga dia kemudian mengupah orang lain untuk mengangkat dan memidahkan jenazah ke masjid untuk disholatkan.
Sayang, umat muslim tidak mau melakukan sholat jenazah. Para ustadz dan santri di sekitar masjid yang biasanya mengaji pun tidak tampak batang hidung mereka. Akhirnya, dibawalah jenazah ke pekuburan di padang pasir untuk disemayamkan.
Singkatnya, orang yang dibayar untuk menggotong jenazah sang pemabuk ini pun hampir sampai di pekuburan. Saat melewati sebuah rumah yang berasal dari tanah yang reyot di atas bukit kecil, tiba-tiba terdengar teriakan lantang. “Berhentilah, saya akan mensholatkannya…” Para penggotong jenazah pun berhenti dan keluarlah seorang tua renta. Orang tua ini dikenal masyarakat sebagai orang yang zuhud (orang yang sudah meninggalkan urusan dunia untuk selalu menomorsatukan urusan akhirat red.)
Orang-orang kota yang sejak tadi menyaksikan dari jauh kaget penggotongan jenazah heran dengan teriakan si zuhud nyeleneh ini. Masyarakat bertanya pada si zuhud, apa yang mendorongnya untuk bersedia mensholatkan jenazah si pemabuk?
“Saya bermimpi bertemu seseorang. Orang ini berkata, turunlah dari bukit dan engkau akan menemukan jenazah seorang laki-laki yang sedang ditunggui isterinya. Sholatkan dia karena dosa-dosanya sudah diampuni” kata si zuhud.
Orang-orang yang selama ini menganggap si zuhud adalah tokoh yang patut diteladani dalam hal kedalaman ilmu tasawuf, kagum dengan penjelasannya. Mereka kemudian bersama-sama mensholatkan jenazah si pemabuk dan memakamkannya dengan baik sebagaimana saudara-saudara sesama muslim lain yang meninggal dunia.
Orang-orang penasaran namun saat akan bertanya mereka sungkan karena takut menyinggung perasaan si isteri. Hanya si zuhud yang berani bertanya pada si isteri, “apakah yang menyebabkan dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT padahal dia suka mabuk-mabukan dan sering melakukan perbuatan yang melanggar syariat agama? “
Si isteri mengaku tidak tahu. Dia kemudian menjelaskan bahwa almarhum semasa hidup memang suka menghabiskan hari-hari di tempat maksiat dan menenggak minuman keras. “Pasti ada amalan kebaikan lain yang membuat dosa-dosanya diampuni Allah SWT. Coba Anda jelaskan apa amalan yang baik yang dilakukannya?” tanya si zuhud.
Isteri pemabuk mengatakan bahwa ada tiga hal yang selalu dilakukan suaminya saat hidup: “Pertama, jika ia sadar dari mabuknya saat subuh maka ia bersuci dan lekas mengganti pakaiannya dan kemudian sholat berjamaan. Kedua, rumah kami selalu dihuni anak yatim yang kami perlakukan sebagaimana anak kami sendiri. Dan ketiga, kalau sadar dari mabuk tengah malam maka ia selalu mengatakan dalam doanya… Tuhanku, di sudut neraka manakah Engkau tempatkan aku, manusia yang selalu berbuat keburukan ini..”
Setelah mendengar apa yang disampaikan isteri pemabuk ini, masyarakat pun tahu apa yang menyebabkan dosa-dosa si “drunken master” ini diampuni oleh Tuhan.
Kisah yang dipaparkan Imam Al Ghazali dalam buku “Mukasyafah al Qulub, al Muqarrib ila Hadrah Allam al Ghuyub fi Ilm at Tashawwuf” di atas mengingatkan kita akan bagaimana seharusnya menjalani laku hidup. Sebagai manusia kita tidak pernah lepas dari kesalahan dan dosa-dosa. Dosa kadang besar namun kadang dosa kecil. Namun dosa tetaplah dosa. Dosa kecil yang bertumpuk tetap akan menjadi dosa besar sehingga perlu diimbangi dengan upaya untuk selalu mensucikan diri dengan niat untuk bertobat.
Bagi saya yang menarik adalah doa sang pemabuk yaitu… “Tuhanku, di sudut neraka manakah Engkau tempatkan aku, manusia yang selalu berbuat keburukan ini?”
Ini adalah bentuk sikap rendah hati di hadapan Gusti Allah dan sebuah sikap anti kesombongan diri. Ego atau aku kita kita tiadakan tanpa bekas di hadapan-NYA. Kita tidak lagi memiliki “aku” lagi. Yang berhak untuk mengAKU memang hanya DIA, Gusti Allah Yang Maha Perkasa. Sementara kita? Rasa-rasanya menciptakan sebutir nyamuk saja tidak bisa kok mengaku hebat dan sakti…
Sikap rendah hati ini termasuk dalam sikap zuhud yang luar biasa. Zuhud harusnya menjadi laku perjalanan spiritual kita untuk selalu menomorsatukan Allah SWT di atas semua kepentingan yang lain. Allah SWT adalah satu-satunya titik pusat konsentrasi kesadaran jiwa dan ruhani kita. Tidak boleh ada titik konsentrasi kesadaran yang lain melebihi konsentrasi kita kepada Allah SWT.
Diriwayatkan oleh Adh Dhardak, suatu ketika seorang pria datang kepada Nabi Muhammad SAW, “Ya Rasulullah, bagaimanakan orang yang disebut paling zuhud itu?”
Rasulullah menjawab: “Orang yang tidak pernah lupa akan kubur dan bencananya, meninggalkan perhiasan dunia, mengutamakan kehidupan yang kekal (KEHIDUPAN BERSAMA ALLAH SWT red.) daripada kehidupan yang fana dan ia tidak melewati hari-harinya kecuali bersiap-siap menjadi penghuni kubur”