Kenapa Tuhan Yang Maha Kuasa memberi keterbatasan pada manusia sehingga manusia tidak mampu langsung “melihat” Nya? Itu disebabkan karena kebanyakan mata manusia tidak mampu melihat betapa luar biasa “CAHAYA” yang terpancar pada Dzat-Nya. Hanya manusia yang berusaha keras ingin melihat, dan sudah memiliki PERSIAPAN KHUSUS yang mampu untuk melihat CAHAYA MAHA CAHAYA. Kecuali bila Anda diijinkan Tuhan melalui jalan pintas.
Dia akhirnya tersungkur, pingsan, tidak sadarkan diri, ekstase saat ingin melihat Dzat-nya yang sangat terang. Matanya nyaris buta bila dia tidak pingsan. Bahkan bisa-bisa langsung lenyap tanpa bekas. Menjadi arang bahkan debu pun saya rasa masih luar biasa.
Dialah Nabi Musa atau Moses –begitu orang Barat menyebut – saat menantang agar Tuhan menampakkan diri dalam wujud fisik. Bayangkan saja bagaimana bila kita melihat matahari dalam jarak ratusan kilometer sebagaimana jarak Musa melihat Tuhan? Pasti Musa akan terbakar habis, bis! Itu hanya satu matahari, bagaimana bila …dua…tiga…empat… semilyar sinar matahari yang kekuatan membakarnya dijadikan satu?
Sejatinya, Tuhan adalah Dzat yang Bukan Maha Pembakar. Dia adalah Maha Lembut dan Welas Asih, sehingga akhirnya dia menyapa Musa dengan bahasa kasih sayang. Tuhan memberikan cara untuk melihat-Nya: Hai Musa, Kau harus ekstase!. Musa hanya diminta untuk tidak menyadarkan “diri” yang masih diliputi oleh tirai kemanusiaan. Diri yang belum siap untuk bertatap “MUKA” dengan-NYA.
Bagaimana sesungguhya kehebatan CAHAYA TUHAN? Dalam Kitab Suci disebutkan dengan bahasa analogi, bahasa perumpamaan, agar manusia berpikir. Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan CAHAYA-NYA adalah ibarat misykat. Dalam misykat itu ada PELITA. PELITA itu ada dalam KACA. KACA itu laksana bintang berkilau. Dinyalakan dengan minyak pohon yang diberkati. Pohon zaitun yang bukan di Timur atau di Barat. Yang minyaknya hampir-hampir menyala dengan sendirinya, walaupun tidak ada API yang menyentuhnya. CAHAYA DI ATAS CAHAYA! ALLAH menuntun kepada CAHAYA-NYA, siapa saja yang Ia kehendaki. Dan ALLAH membuat perumpamaan bagi manusia. Sungguh ALLAH mengetahui segala sesuatu. (QS AN NUR, 35).
Kenapa Tuhan membuat perumpamaan dengan MISYKAT, KACA, PELITA, MINYAK DAN POHON? Jawaban ini tercantum dalam Hadits: Allah mempunyai tujuh puluh hijab (Tirai Penutup) CAHAYA dan KEGELAPAN. Seandainya DIA membukanya, niscaya CAHAYA WAJAHNYA akan membakar siapa saja yang melihatnya.
Masalah utama dalam untuk mengenali Dzat Tuhan yang tidak terbatas adalah ilmu dan pengetahuan dan akal kita sebagai manusia yang terbatas. Dia adalah wujud mutlak dari segala dimensi. Dzat-Nya, seperti ilmu, kuasa dan seluruh sifat-sifat-Nya, adalah tak terbatas. Dari sisi lain, kita dan seluruh yang bertalian dengan keberadaan kita, seperti ilmu, kuasa, hidup, ruang dan waktu, semuanya serba terbatas.
Oleh karena itu, dengan segala keterbatasan yang kita miliki, bagaimana mungkin kita dapat mengenal wujud dan sifat yang mutlak dan tak terbatas? Bagaimana mungkin ilmu kita yang terbatas dapat menyingkap wujud nir-batas? Ya, dari satu sisi, kita dapat melihat dari jauh kosmos pikiran dan memberikan isyarat global ihwal Dzat dan sifat Allah swt. Akan tetapi, untuk mencapai hakikat Dzat dan sifat-Nya secara detail adalah mustahil bagi kita.
Dari sisi lain, wujud tanpa batas dari segala dimensi ini tidak memiliki keserupaan dan kesamaan. Dan ketakterbatasan ini hanyalah TUHAN SEMESTA ALAM. Sebab, sekiranya Dia memiliki keserupaan dan persamaan, maka kedua-duanya menjadi terbatas. Sekarang bagaimana kita dapat memahami wujud yang tak memiliki kesamaan dan keserupaan?
Segala sesuatu yang kita lihat selain-Nya adalah wujud yang mungkin, sedangkan sifat- sifat wajib al-Wujud berbeda dengan sifat yang lainnya. Kita tidak berasumsi bahwa kita tidak memiliki pengetahuan tentang hakikat wujud Allah, tentang ilmu, kuasa, kehendak dan hidup-Nya. Akan tetapi, kita berasumsi bahwa kita memiliki pengetahuan global tentang hakikat wujud dan sifat-sifat-Nya. Dan kedalaman serta batin seluruh hal-hal ini tidak akan pernah kita ketahui. Dan kaki akal seluruh orang-orang bijak dunia, tanpa kecuali, dalam masalah ini tampak lumpuh: Dalam hadis yang diriwayatkan dari Imam Ash-Shadiq a.s. dikatakan: “Diamlah bilamana pembahasan sampai pada Dzat Allah”. Artinya, jangan membahas ihwal Dzat Tuhan.
Dalam masalah ini, seluruh akal buntu dan tidak akan pernah mencapai tujuannya. Berpikir tentang DZAT YANG TANPA BATAS melalui akal yang terbatas adalah mustahil. Karena segala yang dirangkum oleh akal bersifat terbatas; dan terbatas bagi Tuhan adalah mustahil. Dengan ungkapan yang lebih jelas, tatkala kita menyaksikan jagad raya dan seluruh keajaiban makhluk-makhluk, dengan segenap kompleksitas dan keagungannya, atau bahkan melihat wujud diri kita sendiri, secara umum,kita memahami bahwa jagad raya ini memiliki pencipta dan Sumber Awal.
Pengetahuan ini adalah pengetahuan global yang merupakan tahapan akhir bagi kekuatan pengenalan manusia tentang Tuhan. Namun, semakin kita mengetahui rahasia-rahasia keberadaan, semakin juga kita mengenal keagungan-Nya serta jalan pengetahuan global tentang-Nya semakin kuat. Akan tetapi, ketika kita bertanya kepada diri kita sendiri apakah hakikat Dia? Dan bagaimanakah Dia?
Ketika kita mengarahkan pikiran ke arah realitas DZAT TUHAN, kita tidak akan mendapatkan sesuatu selain keheranan dan rasa takjub. Kita akan mengatakan bahwa jalan untuk menuju ke arah-Nya adalah terbuka, dan jalan untuk menyentuh hakikatnya adalah tertutup. Itulan sebabnya, DZAT TUHAN dalam kitab suci hanya dipaparkan dalam bahasa perumpamaan saja. Namun perumpamaan dalam kitab suci, kita yakin bukan asal perumpamaan.
Perumpamaan ini hanya bisa bisa diinterpretasi dengan akal yang panjang dan hati nurani yang bersih, bening, tenang dan ikhlas. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana jalan atau cara untuk sampai pada pintu Tuhan, selanjutnya Bertemu dan Mampu untuk “melihat” Dzat-Nya?
Pada artikel saya terdahulu telah disebutkan bahwa jalan untuk menuju Tuhan adalah perjalanan untuk membersihkan hati dari berbagai penyakit, kotoran, nafsu-nafsu kemanusiaan sehingga kita akhirnya hati kita benar-benar bersih, berkilau dan akhirnya memiliki MATA HATI YANG BISA MELIHAT DZAT-NYA. Nurani yang terkoneksi secara otomatis sehingga “KEMANA KAU MENGHADAP DISITULAH WAJAH ALLAH.”
Sekarang, marilah kita menganalisa secara lebih detail apa saja HIJAB/ PENGHALANG/ TABIR PENUTUP/ DINDING yang harus dilewati oleh para pejalan sunyi yang dengan gigih ingin bertemu, bertamu, dan melihat WAJAHNYA YANG MAHA INDAH….
70 RIBU HIJAB
Dalam Hadits disebutkan sebagai berikut: Allah mempunyai tujuh puluh (riwayat lain menyebut tujuh ribu, tujuh puluh ribu) hijab CAHAYA dan KEGELAPAN. Seandainya DIA membukanya, niscaya CAHAYA WAJAHNYA akan membakar siapa saja yang melihatnya. Berarti manusia dari awalnya berstatus MAHJUB: dalam keadaan tertutupi dinding/hijab dari Tuhan. Manusia tidak mampu melihat TAJALLI pada Dzat-Nya (Tajalli: Menyatakan diri setelah hijab-Nya terbuka/tersingkap.
Dari TUJUP PULUH HIJAB tadi, menurut Al Ghazali bisa dikategorikan menjadi TIGA. PERTAMA: YANG TERHIJAB OLEH KEGELAPAN MURNI. KEDUA, YANG TERHIJAB OLEH CAHAYA YANG BERCAMPUR DENGAN KEGELAPAN. KETIGA, YANG TERHIJAB OLEH CAHAYA MURNI SEMATA-MATA.
PERTAMA: YANG TERHIJAB OLEH KEGELAPAN MURNI. (1). Tidak yakin ADA Tuhan (ATEIS). (2). Yakin penyebab segala sesuatu BERASAL DARI MATERI, DAN DARI ALAM. (3). Sibuk dengan DIRI SENDIRI, tidak sempat mempertanyakan penyebab terwujudnya alam semesta. Terlena dengan HAWA NAFSU, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: “Hawa Nafsu adalah sesembahan yang paling dibenci oleh Allah SWT.” Ketiga hijab ini memiliki banyak varian lagi.
KEDUA, YANG TERHIJAB OLEH CAHAYA YANG BERCAMPUR DENGAN KEGELAPAN. Kegelapan berasal dari INDERA, Kegelapan berasal dari DAYA KHAYAL, Kegelapan berasal dari RASIO/ AKAL YANG SALAH.
(1). Menyembah BERHALA hingga percaya TUHAN BERJUMLAH DUA ATAU BANYAK. Termasuk percaya alam semesta itu Tuhan Yang Maha Indah. Percaya bahwa Tuhan bisa dilihat (mahsus). Mereka yang terhijab oleh CAHAYA KETINGGIAN, KECEMERLANGAN, KEKUASAAN, yang kesemuanya memang CAHAYA-CAHAYA ALLAH SWT (seperti menyembah bintang). Percaya bahwa Tuhan itu adalah Matahari, Tuhan adalah semua hal yang bercahaya> percaya bahwa Tuhan adalah CAHAYA MUTLAK YANG MENGHIMPUN SEMUA CAHAYA. Masih banyak lagi variasi hijab tingkat ini.
(2). Menganggap Tuhan bertubuh, yakin bahwa keberadaan Tuhan BISA DITUNJUKKAN di arah tertentu misalnya DI ATAS, termasuk mereka yang percaya bahwa Tuhan berada di luar alam dunia atau di dalam dunia. Sesungguhnya mereka ini tidak mengetahui bahwa persyaratan dasar sesuatu yang dapat dicerna akal adalah kemungkinannya untuk melampaui segenap arah dan ruang.
(3). Mereka yang menyimpulkan dengan akal namun salah KESIMPULAN. Menyimpulkan bahwa Tuhan memiliki sifat mendengar, melihat, mengetahui, menghendaki sesuai dan menyetarakan dengan sifat-sifat manusiawi. Sifat Tuhan adalah sama seperti sifat manusia. Masing masing memiliki variasi hijab.
KETIGA, YANG TERHIJAB OLEH CAHAYA MURNI SEMATA-MATA. Kategori ketiga ini berjumlah sangat banyak, namun untuk mempermudah bisa dipilah sbb:
(1). Mengetahui benar-benar sifat-sifat Allah SWT tidak sama dengan manusia,
(2). Percaya penggerak semua benda planet ini adalah malaikat yang berjumlah banyak. Percaya bahwa Ar Rabb (Tuhan Maha Pengatur dan Pemelihara) adalah Penggerak seluruh benda. Padahal, Ia wajin DINAFIKAN DARI SEGALA BENTUK KEMAJEMUKAN.
(3). Percaya bahwa Perbuatan MENGGERAKKAN BENDA-BENDA SECARA LANGSUNG sepantasnya merupakan bentuk PELAYANAN KEPADA TUHAN. Percaya bahwa TUHAN MAHA PENGATUR ini adalah memiliki penggerak utama lagi dengan cara mengeluarkan perintah bukan menangani secara langsung. Ringkasnya, mereka yang masih terliputi HIJAB TINGKAT TINGGI ini terhijab oleh CAHAYA-CAHAYA MURNI.
(4). Ini adalah hijab bagi ORANG-ORANG YANG TELAH SAMPAI DI AKHIR PERJALANAN (Al Washilun). Mereka percaya AL MUTHA (yang ditaati) ini, bagaimanapun juga masih memiliki sifat yang berlawanan dengan KEESAANNYA YANG MURNI DAN KESEMPURNAAN YANG MUTLAK. Padahal, YANG DITAATI/YANG DIPATUHI yaitu sesuatu yang menjadi penghubung antara Tuhan dengan alam semesta ini, dalam hubungannya dengan AL WUJUD AL HAQQ adalah seperti matahari dengan cahaya murni atau bara api dalam hubungannya dengan substansi api.
Ini juga hijab bagi mereka yang telah sampai di akhir perjalanan. Yaitu pemahaman bahwa TUHAN ADALAH YANG MAHA TERSUCIKAN DARI PARADIGMA KEMANUSIAAN, baik itu oleh mata maupun oleh mata hati. Mereka mengalami keadaan yang menyebabkan TERBAKARNYA SEGALA YANG PERNAH DICERAP OLEH PENGELIHATAN, lalu ia sendiri ikut larut kendati masih terus menatap KEINDAHAN dan KESUCIAN disamping menatap dirinya sendiri dalam KEINDAHAN yang diraihnya dengan telah mencapai HADRAT ILAHIYAH.
Selain itu, masih ada golongan kecil yang sebenarnya sudah sampai di akhir perjalanan spiritual namun ternyatan masih terhijab, yaitu mereka yang berada pada tingkat KHAWASUL KHAWAS (yang spesial di antara yang spesial). Mereka telah TERBAKAR oleh cahaya WAJAH-NYA dan telah TENGGELAM dalam gelombang KEAGUNGAN. Mereka tidak lagi memiliki perhatian pada diri sendiri, karena DIRI TELAH FANA! Tidak ada satupun yang ada kecuali YANG MAHA SATU DALAM KETUNGGALAN: Ini sesuai dengan Firman-Nya: SEGALA SESUATU BINASA KECUALI WAJAH-NYA.
Yang perlu diketahui, ada pula yang tidak menjalani pendakian atau MIKRAJ dengan cara setahap demi setahap untuk menyingkirkan hijab atau penghalang sebagaimana yang harus dilakoni oleh Nabi Ibrahim Khalilullah A.S. (Sahabat Tuhan). Ada yang cepat telah meraih MAKRIFAT yaitu mampu MENSUCIKAN TUHAN DENGAN CARA YANG BENAR. Mereka tiba-tiba bisa diserbu oleh TAJALLI ILAHI (Ketersingkapan Hijab di antara Tuhan dan manusia) sehingga cahaya-cahaya wajah-Nya membakar segala yang bisa dicerap oleh pengelihatan mata indera maupun mata hati sebagaimana jalan yang dilalui oleh Nabi Muhammad SAW, sang Habibullah (Kekasih Tuhan).