Apakah bila semakin cerdas orang akan bisa
mengenali dan mengakui keberadaan Tuhan?
Atau sebaliknya semakin bodoh maka orang
semakin tidak mampu mengenali bayangan jejak-
jejak Tuhan? Kami tergelitik untuk menanyakan
hal ini karena jaman kita diliputi oleh semangat
memaksimalkan peranan kecerdasan otak, tidak
hanya di lingkungan lembaga pendidikan formal
tetapi juga sampai di sel terkecil hubungan sosial
manusia yaitu keluarga.
Tidak bisa dipungkiri, dunia pendidikan saat ini
harus merespon tuntutan global untuk bersaing
di era pasar bebas. Yaitu sebuah era yang
ditandai dengan semakin majunya teknologi
karena kreativitas dan inovasi untuk meraih
keunggulan finansial dan ekonomi. Dunia
pendidikan yang tidak bisa menyesuaikan diri
dengan situasi dan kondisi global dipastikan akan
gulung tikar dan tidak lagi diminati oleh
masyarakat.
Mereka yang tidak kreatif dan inovatif akan juga
dilibas jaman. Mereka akan tersingkir dari bursa-
bursa lowongan kerja dan kemudian tidak
mampu berbuat banyak untuk mengubah
keadaan. Kemiskinan itu sangat tidak nyaman
sehingga wajar dan manusiawi bila orang
berlomba-lomba untuk mendapatkan kerja yang
paling ideal dan paling banyak menghasilkan
uang.
Bursa-bursa kerja akan terus terbuka bagi mereka
yang kreatif, profesional, memiliki dedikasi dan
integritas yang tinggi. Apalagi ditunjang dengan
pendidikan yang tinggi, bagus dan terkenal.
Lihatlah iklan lorongan pekerjaan di media massa.
Rata-rata mensyaratkan agar pelamarnya berasal
dari perguruan tinggi yang terkenal (ada jaminan
otaknya encer?), usia muda, berpenampilan
menarik dan sukur-sukur berwajah cantik.
Begitulah, kecerdasan otak menjadi hal yang
wajib untuk dipenuhi oleh jaman nanoteknologi
saat ini. Dan dalam psikologi, kecerdasan otak
memiliki standar yaitu Intelligent Quotient (IQ).
Rumus IQ adalah IQ = MA/CA x 100%. MA adalah
Usia Mental dan CA adalah usia kronologis.
Semakin tinggi Usia Mental dibanding dengan
Usia Kronologis maka IQ orang tersebut akan
tinggi dan semakin cerdaslah orang tersebut.
Banyak dijumpai saat ini anak jenius, yaitu anak
yang usia mentalnya melebihi usia kronologis
anak sebayanya, gaya bicara dan berpikirnya
seperti orang tua, bahkan banyak yang sudah
hapal Kitab Suci. Tapi banyak pula lahir anak
idiot, yaitu anak yang usia mentalnya tertinggal
dibanding usia kronologis teman-teman sebaya
mereka.
Boleh dikatakan abad 21 adalah abad dimana
otak telah dijadikan pusat orientasi. Dengan Otak
yang encer maka semua solusi hidup bisa
dipecahkan, namun sebaliknya dengan otak yang
bebal maka solusi menjauh, justeru yang datang
adalah masalah demi masalah. Untuk mencapai
kebahagiaan dan kepuasan hidup maka tidak ada
cara lai selain harus mengasah ketajaman otak
setajam-tajamnya.
Kita tidak menyangkal titik orientasi jaman yang
sudah berubah ini.
Sejarah membuktikan orientasi manusia telah
bergeser dari alam semesta (kosmosentrisme),
dari Tuhan (teosentrisme), dari manusia
(antroposentrisme), untuk memasuki wahana
bahasa (logosentrisme) yang merupakan
permainan artikulasi dan representasi dari isi otak
dan pikiran manusia. Logosentrisme memiliki ciri
utama yaitu reperesentasi, hanya wakil dari
realitas. Bukan realitas itu sendiri sehingga yang
terjadi adalah realitas maya/jadi-jadian dan dibuat
lebih (hiper).
Otak memiliki kecenderungan untuk memilah,
memilih, membedakan satu dengan yang lain,
mengkanalisasi setiap hal dalam kategori-
kategori. Ini adalah kegiatan menganalisa. Otak
juga memiliki kemampuan yang hebat untuk
mensintesakan, menyimpulkan dari kegiatan
menganalisa tersebut. Itulah kedahsyatan otak
yang terus menerus diasah di bangku-bangku
lembaga pendidikan modern dan tradisional, di
pondok-pondok pesantren, perguruan-perguruan,
padepokan-padepokan dan seterusnya.
Pertanyaannya sekarang apakah kepintaran selalu
simultan/seiring/senyampang dengan
perkembangan ruhani untuk mencari hakekat
dan jati diri individual untuk kemudian akan bisa
mendapatkan jawaban-jawaban tentang soal-soal
Ketuhanan, Kemanusiaan, Keadilan, Kebebasan,
Keadilan dan nilai-nilai lain, dan seterusnya dan
seterusnya. Bila sudah mendapatkan jawaban
apakah mereka akan semakin bijaksana dalam
berperilaku dan berbuat?
Jawaban sementara yang merupakan hipotesis
saya sbb: TIDAK ADA JAMINAN. Banyak orang
pintar yang kreatif dan inovatif mengolah
hidupnya, menguasai banyak materi untuk
memenuhi keinginan hidup (bukan kebutuhan
hidup) ternyata miskin dan tidak cerdas secara
spiritual. Kemandirian dan otonomi manusia
bebas manusia untuk menyimpulkan SANGKAN
PARANING DUMADI ternyata tersingkir/
tercampakkan untuk memenuhi hasrat manusia
akan materi yang dianggapnya sumber
kebahagiaan. Manusia seperti ini akan limbung
dan berjalan tanpa arah serta tujuan hidup yang
lurus. Ia tidak mampu mengenali jejak-jejak
kehadiran Tuhan baik yang ada dalam dirinya
sendiri (Mikrokosmos) dan juga yang ada di alam
semesta (Makrokosmos)
Mari kita amati. Kebetulan, sehari-hari saya
bekerja melayani masyarakat dari berbagai
kalangan. Mulai yang hanya lulus SD, hingga
tamat perguruan tinggi strata dua. Jenis dan
jenjang status sosial serta pangkat dan derajat
yang beragam pula. Apakah mereka yang
berpangkat, memiliki jabatan dan pendidikan
tinggi ternyata memiliki jiwa kemanusiaan yang
lebih tinggi daripada mereka yang hanya lulus
SD? Tidak bukan. Selanjutnya, tidak ada jaminan
pula yang satu akan lebih tinggi tahapan
pencapaian spiritualitasnya.
Adalah sangat tidak adil bila Tuhan ternyata
mengistimewakan yang satu dan bersikap pilih
kasih. Bila Tuhan Maha Adil, maka dia akan
menciptakan manusia menjadi individu-individu
sesuai dengan kapasitasnya dan mengadili sesuai
dengan kapasitasnya pula. Misalnya Tuhan
menciptakan individu bernama D dan dilahirkan
ke dalam keluarga mampu. Sementara di lain
tempat dia menciptakan individu bernama S
dalam keluarga yang tidak mampu. Nasib
selanjutnya kedua individu ini tentusaja sangat
tergantung pada batas-batas tertentu meskipun
Sumber daya Manusia-nya sudah diolah secara
maksimal. Nah, apa dan bagaimana si individu
tersebut berhasil untuk menemukan jalan hidup
yang sesuai dengan yang digariskan oleh-Nya,
terserah kepada individu itu sendiri. Ini tentu
sebuah persaingan fair berebut tiket menuju
keabadian.
Mengolah hidup tidak hanya dengan memakai
akal, pikiran, rasio, otak kiri saja namun juga
perasaan, budi, otak kanan untuk
mempertimbangkan benar salah. Keduanya perlu
dipertajam. Otak kiri dengan cara menganalisa,
otak kanan dengan cara merasa, meyakini,
mempercayai. Bila keduanya sudah diolah
sedemikian hingga tercapai batas maksimal
kecerdasan, maka dia pasti akan menemukan apa
yang dicari. Berat sebelah menggunakan dua
belah otak akan mengakibatkan stress, tertekan,
dan bahkan bisa jadi sakit mental.
Adalah sebuah pesan yang perlu
dipertimbangkan bahwa bila pikiran kita sedang
suntuk maka istirahatkan dengan rekreasi dan
refreshing. Bila hati kita sedang gundah dan
putus asa maka segarkanlah dengan cara
merasakan kedamaian Tuhan. Berkomunikasi
intensif sekaligus meminta pertolongan kepada
Sang Pemberi Hidayah. Mengenai bagaimana cara
yang terbaik untuk berkomunikasi? Terserah
Anda.
Smber kwa