Merenung. Untuk perjalanan rohani seseorang (untuk berjalan menuju hadrat Allah), tidak akan pernah cukup hanya dengan mengandalkan sebuah pemikiran saja, dan tidak akan pernah sempurna tanpa adanya perenungan, pemikiran adalah produk dari akal sedangkan renungan itu produk dari pada hati, untuk lebih jelasnya pemikiran itu pekerjaan akal dan perenungan itu adalah pekerjaan hati (merenung itu untuk menyatukan akal dengan hati). Begitu juga apa yang didapat dari pemikiran dan perenungan itu juga sangat berbeda, yang didapat di dalam sebuah pemikiran adalah ilmu yang sifatnya dunia saja (yang masuk dalam logika), sedangkan yang didapat dari sebuah perenungan itu sifatnya seperti ilham, atau ilmu laduni (kehendak Allah yang masuk ke dalam hati), segala bentuk ilham itu tidak berasal dari akal pikiran dan logika maanusia, akan tetapi langsung dari Allah yang langsung masuk ke dalam hati seseorang. Karena kalau berpikir itu berangkat dari akal pikiran kita yang terpusat kepada sesuatu yang kita pikirkan, hingga pikiranya mencari jawaban dari sebuah pertanyaan yang muncul dalam pikiran, kepada sesuatu yang menjadi obyek pikiran, sampai pada akhirnya ia menemukan ilmu dan hikmah yang dimaksud. Sedangkan perenungan itu berangkat dari akal pikir dan hati kita yang terpusat kepada Allah, menyatukan hati dan pikiran menjadi satu atau memusatkan pikiran dan hati kepada keagungan Allah, hingga rasa kita terlarut dalam rasa (rahasia) Allah. Suatu misal, disaat kita sedang menikmati keindahan bulan purnama yang dihiasi dengan indahnya bintang-bintang, akal pikiran kita memuji dan mengagumi keindahan bulan purnama dengan segala hiasanya, kalau rasa memuji dan mengagumi itu hanya berhenti pada keindahan bulan dengan segala hiasanya, maka inilah yang disebut berpikir dan yang kita dapati hanya rasa kagum dan rasa tahjud saja. Tatapi kalau rasa kagum dan memuji itu langsung kita tujukan kepada Allah, tidak berhenti kepada keindahan bulan purnamanya saja, maka kita akan mendapatkan ilham atau ilmu dari Allah yang masuk kedalam hati kita. Ilham atau ilmu tentang keagungan dan keindahan Allah dengan segala ciptaan-Nya, bila dibukakan pintu keagungan dan keindahan Allah, maka hati kita akan terasa tentram, teduh, tenang dan lapang serta bahagia melihat kebesaran Allah yang nyata di dalam setiap ciptaan-Nya. Saudaraku terkasih, jadi yang disebut ilmu tauhid itu bukan yang kita dapatkan dari membaca buku dan kitab, juga bukan yang kita dapatkan dari mendengarkan ceramah dari seorang guru, tapi yang kita dapatkan dari olah pikir dan perenungan diri, hingga kita mendapatkan ilham dari Allah, berupa ilmu dan pemahaman yang belum pernah terungkap dan kita temui sebelumnya. Para ulama’ tasawuf juga sudah sering menyebutkan bahwa,” Berdzikir itu adalah menyebut Allah, merenung itu berbicara dengan Allah, diam itu bertemu dan bertatap muka dengan Allah, fana itu selalu bersama dengan Allah dan baqa’ itu kekal bersama Allah”. Banyak sekali diantara umat Islam di negeri ini, yang begitu menguasai kitab-kitab tasawuf yang klasik maupun yang moderen, tetapi ilmu tersebut hanya dipergunakan untuk berdebatan saja, hanya untuk pembenaran diri sendiri, mereka hanya mempergunakan ilmunya untuk mencari lawan debat, tanpa ada tindakan dan laku di dalamnya.Pada akhirnya mereka pada umumnya hanya menilai bahwa hanya ilmu tasawuf saja yang benar, sedang ilmu Syariat dan Tariqah adalah ilmu yang sia-sia belaka. Setelah pemahaman dan pendapat itu dia yakini, selanjutnya mereka meninggalkan Syariat dan Tariqahnya, ini yang harusnya menjadi perhatian kita semua. Dan salah satu bentuk perhatian itu, maka kami beranikan diri untuk berbagi dan saling mengisi dengan kami terbitkanya buku ini, harapan kami buku ini bisa memberikan warna dalam pengembangan ilmu tasawuf di negeri ini. Sekali lagi, ilmu dan pemahaman tasawuf yang hanya kita dapat dari membaca dan mendengar ceramah dari seorang guru, itu bukan ilmu yang sesungguhnya. Setiap ilmu tasawuf yang kita dapat dari membaca dan mendengar ceramah dari seorang guru, bila tanpa kita praktekan dengan sikap dan perbuatan melalui perenungan dan perenungan, sambil selalu berusaha membersihkan hati dari segala penyakit hati (Baca juga buku,”Di Dalam Diri Ada Allah, Kesadaran Insani Menuju Kesadaran Ilahi), maka segala ilmu tasawuf yang kita pelajari akan terasa hampa tiada rasa, ibarat tubuh tanpa nyawa dan gula tanpa manisnya. Sekali lagi bahwa sesungguhnya Syariat, Tariqah, Hakikat dan Makrifat itu adalah merupakan wujud dari sebuah satu kesatuan, yang saling melengkapi dan saling menyempurnakan. Syariat tidak bisa berdiri tanpa adanya Tariqah, Syariat hanya sekedar syarat dan rukun saja dan hanya akan menjadi bahan perdebatan semata, bila kita tidak pernah menjalankanya. Dan bagi yang telah mengetahui Syariat dan menjalankanya (Syariat yang sudah bertariqah), akan menjadi tanpa iman kalau tidak disertai Hakikat di dalamnya, Hakikat adalah kesadaran diri dengan iman dan keyakinan, bahwa dia bisa melakukan dan menjalankan (bertariqah) itu semata-mata atas hidayah atau kekuatan Allah, bukan kekuatan diri sendiri. Dan begitu juga dengan Syariat, Tariqah dan Hakikat yang telah kita lakukan itu tidak akan pernah sempurna keyakinan kita bila tanpa merasakan kekuatan Allah dalam setiap apa yang kita lakukan, karena yang disebut merasakan itulah yang dinamakan Makrifat (mengenal Allah) di dalam setiap amal ibadah dan amal perbuatan kita.
Keluarga Berkah Penuh Cinta